Senin, 29 Desember 2014

Menggali Pemikiran Anas Urbaningrum

Menggali Pemikiran Anas Urbaningrum
Ilmu politik sejak lama memikirkan bagaimana membangun sistem yang membuat kita “bebas dari kelaparan dan penindasan”. Perkembangan politik berarti sebagian pemerintahan lebih baik dalam mencapai tujuan daripada pemerintahan yang lain. Dalam hal ini pemerintahan dengan sistem demokrasi, suatu bentuk pemerintah politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat. Meski begitu, lazimnya kita berhati-hati agar tidak mengidealisasikan demokrasi karena demokrasi juga memiliki kekurangan. Samuel Huntington mengingatkan kita bahwa tertib politik adalah lebih penting karena banyak orang setuju bahwa demokrasi dalam bentuk tertentu lebih disukai ketimbang pemerintahan yang tidak demokratis.
Tocqueville juga mencatat bahwa sistem demokrasi akan menderita jika masyarakatnya masih mengalami kesenjangan sosial. Diperlukan modernisasi dalam kedinamisan demokrasi. Untuk membangun modernisasi, pada gilirannya menimbulkan banyak pertanyaan, karena banyak ahli mengemukakan bahwa demokrasi muncul dan berlanjut jika ada norma-norma dan keyakinan tertentu. Gagasan bahwa norma-norma tertentu diperlukan bagi demokrasi agar berfungsi baik menunjukkan kualifikasi yang penting bagi modernisasi. Jika perubahan sosial-ekonomi tidak mengubah keyakinan dan norma-norma masyarakat, maka bisa dipastikan kita tidak akan melihat modernisasi yang berhasil.
Ilmu politik yang termasuk ke dalam ilmu praktis menyebabkan ahli ilmu politik dan intelektual politik idealnya tidak semata-mata hanya menjadi pengamat tindakan politik. Ilmuan politik, menurut pandangan klasik, harus secara langsung berinteraksi dengan masalah-masalah politik. Akan tetapi, karena ilmuan politik lebih terekspos dalam proses belajar hal-hal politik , banyak dari mereka menjadi “wasit” dalam politik.
Anas Urbaningrum adalah salah satu intelektual muda yang menuangkan gagasan, pemikiran tentang demokrasi produktif, dalam buku-nya “Takdir Demokrasi”. Ia mengatakan berbagai tantangan dan masalah nyata yang dihadapi negara-negara demokrasi adalah ruang, kesempatan dan sekaligus tuntuan bagi demokrasi untuk selalu adaptif, kenyal dan menawarkan solusi. Itulah ruang dialog antara sistem demokrasi dan realitas. Nilai–nilai demokrasi harus diterjemahkan untuk menjawab tantangan nyata. Karena demokrasi di Indonesia harus terus-menerus disempurnakan. Selain memang usia demokrasi kita masih muda, demokrasi di Indonesia belum menemukan bentuk yang mendekati cita-cita reformasi. Karena itu, kreativitas praktik dilapangan menjadi salah satu kunci dari keberhasilan. Berdasarkan kondisi tersebut Anas urbaningrum menawarkan poin-poin gagasan untuk menyempurnakan demokrasi.
Pertama adalah kesediaan untuk berfikir luas dan jangka panjang. Perbaikan undang-undang politik yang mendukung bangunan demokrasi yang makin baik dan produktif hanya bisa berjalan jika semua pihak (terutama partai politik) mampu melampaui kepentingan sendiri-sendiri. Sistem kepartaian yang makin sederhana dan sistem pemilu yang akuntabel. Kepentingan parsial partai dan golongan harus mampu ditempatkan di belakang. Karena demokrasi yang ideal adalah mengandalkan suatu kondisi masyarakat yang memiliki kematangan dalam berpolitik, memiliki penilaian yang baik, dan tentu saja mendahulukan tuntutan-tuntutan kesejahteraan umum daripada kepentingan-kepentingan pribadinya.
Kedua, kesediaan untuk bekerja amat keras untuk mendekatkan (bahkan mengawinkan) kemakmuran politik demokrasi dengan kemakmuran ekonomi. Reformasi telah mengusir tekanan politik negara otoritarian terhadap masyarakat politik. Kebebasan demikian nyata dan sangat berkelimpahan. Rakyat pun merasakan kebebasan tersebut. Kemakmuran politik inilah yang harus menjadi modal dasar bagi kerja keras untuk mengusir tekanan ekonomi yang masih dirasakan oleh rakyat miskin. Karena kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi sangat jelas berpengaruh secara langsung terhadap seluruh lapisan masyarakat. Modernisasi yang dijalankan pun haruslah berorientasi pada tujuan mencapai kesejahteraan rakyat. Karena demokrasi yang berkualitas, tentu bukan demokrasi yang hanya menekankan pada keberhasilan proses formal demokrasi seperti pemilu atau pilkada. Kualitas dan kesuksesan demokrasi hanya bisa ditakar dari sejauh mana para penyelenggara negara mampu mengutamakan pembangunan sosial-ekonomi yang berkeadilan dan mensejahterakan rakyat serta mewujudkan demokrasi menjadi jendela, fikiran, batin, jiwa dan tindakan sehari-hari seluruh masyarakat.
Ketiga, kesediaan para aktor demokrasi untuk menjadi teladan nyata. Bahkan keikhlasan untuk belajar dari rakyat banyak. Para pelaku utama harus lebih matang ketimbang pemain pembantu. Dendam tak berkesudahan dan memutus silaturahmi hanya karena kalah, hal-hal yang seperti itu mutlak harus dijauhkan dari praktik demokrasi. Para elit perlu bercermin dari sikap para pendukung yang sudah akur kembali dalam pergaulan sehari-hari, walaupun mereka sangat fanatik. Upaya untuk benar-benar berhasil membangun etika dan moralitas politik yang sebangun dengan tuntutan sistem politik demokratik.
Prasayarat penting yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan itu adalah pentingnya dibangun kebudayaan dan kepribadian politik demokratik yang meliputi elemen-elemen yaitu inisiatif rasional politik, kesantunan politik, disposisi reprositas toleransi, fleksibilitas dan open minded, komitmen kejujuran, serta keterbukaan. Oleh karena itu etika politik menjadi penting. Sejatinya para elit harus menjadi contoh yang baik untuk selalu menebar, menanam norma-norma etika politik kepada masyarakat, karena pengertian berpolitik bukan mengajarkan memperebutkan kekuasaan namun penghayatan moral dan etika politik yang mengedepankan pengorbanan altruistik untuk bangsa dan negara. Karena di pentas dan panggung politik, etika politik sepertinya sudah lama “tiarap”.
Etika politik hanya menjadi academic exercise yang menarik dibicarakan dalam konteks akademis di bangku kuliah. Realitas nya sekarang ini, etika politik sekedar pemanis bibir saja. Kompetisi politik tereduksi hanya pada persoalan kalah dan menang dalam meraih jabatan kekuasaan politik. Padahal jelas, politik tanpa etika hanya akan melahirkan sinetron demokrasi, yang hanya menyuguhkan kebohongan dan janji-janji kosong para demagog yang jelas-jelas mengancam demokrasi. Padahal etika dalam politik akan memberikan jaminan bahwa politik itu ada untuk meningkatkan harkat martabat sekaligus meninggikan akhlak bangsa.
Memperbaiki sistem, bukanlah persoalan politik belaka, betapa sistem di-ubah, diganti, tetap saja problem tak kunjung tuntas teratasi selama kita belum mau dan belum mampu membenahi etika berbangsa dan bernegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya perbaikan kondisi bangsa ini haruslah memperhatikan fakta bahwa krisis ini bertalian erat dengan krisis etika dan moralitas. Mengingat awal mula gagasan demokrasi itu lahir melalui penghadapan antara cita-cita dan realitas. Dimana ia merupakan suatu struktur makna dari perilaku dan perbuatan ide demokrasi bertolak dari kesadaran akan perlunya corak masyarakat yang demokratis. Karena etos demokrasi adalah sesuatu yang dipelajari dan bukan diwariskan. Artinya, untuk mencapai demokrasi produktif tidak hanya difahami dalam tatanan kognitif saja. Melainkan harus mempraktekan dalam perbuatan masyarakat.
Nilai-nilai demokrasi jika tumbuh dan berkembang dalam prilaku keseharian warga negara maka akan mendorong perkembangan demokrasi yang produktif, demokrasi yang mapan (established democracy). Sebaliknya, jika nilai etika dan moraliitas demokrasi tersebut tidak dikembangkan, maka demokrasi berada dalam keadaan yang rentan (fragile democracy). Kembali mengutip tulisan Anas Urbaningrum dalam bukunya “Takdir Demokrasi”, menanam pastilah bukan egois sebaliknya adalah tindakan altruis. Menanam sepragmatis apapun, pasti bermakna perduli kepada orang lain. Bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri, kelompok sendiri, generasi sendiri. Menanam adalah amal shalih dari kebijakan yang mampu menggerakan dinamika sejarah.

Kamis, 04 Desember 2014

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BAITUL MAL





SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BAITUL MAL

Disusun untuk Memenuhi Tugas pada Matakuliah
Ekonomi Syariah

Dosen Pengajar:
Dr. Ahmad Faiq, SH, MM

Disusun oleh :
                                                                 Kosim Rahman 
1202019
Description: E:\ \Δ Smad-Lock (Brankas Smadav) Δ\file kampus\Data BEM\logo ganesha.jpg



SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI GANESHA
JURUSAN EKONOMI MANAJEMEN
2014


BAB 1

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dewasa ini suatu negara di dunia pasti membutuhkan suatu institusi yang mampu memperlancara aktivitas perekonomianya. Dan tentunya institusi tersebut harus mempunyai peran yang sangat signifikan untuk kelancaran aktivitas perekonomianya.
Dan institusi tersebut sudah ada sejak zaman dulu dan Madinah merupakan kota pertama yang memperkenalkannya, yang pada saat itu di pimpin dan dicetuskan oleh Rasulullah saw, institusi terebut di sebut Baitul Mal.
Pada waktu itu Baitul Mal memegang  peranan yang sangat vital karena bukan hanya aspek ekonomi tapi semua aspek kehidupan negara.
Pada zaman modern ini Baitul Mal disebut dengan Departemen Keuangan. Tidak bisa dibayangkan seandainya Rasulullah saw tidak mencetuskan konsep tentang Baitul Mal, apakah mungkin pada saat ini kita mempunyai Departemen Keuangan? Begitu besarnya peranan Baitul Mal, maka dalam makalah ini kami akan mengulas hal-hal yang berkaitan dengan Baitul Mal, baik itu dari segi sejarah, fungsi dan perananya.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan disajikan penulis adalah bagaimana pengertian dan ruang lingkup Baitul Maal, tujuan serta fungsi dari Baitul Maal itu sendiri.

C.     Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini sebagaimana dapat mengetahui arti dan ruang lingkup dari Baitul Maal, mengetahui apa saja tujuan didirikannya Baitul Maal serta fungsi Baitul Maal.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Berdirinya Baitul Maal
Sebelum islam hadir di tengah-tengah umat manusia, pemerintahan suatu negara di pandang sebagai satu-satunya penguasa kekayaan dan perbendaharaan negara. Dengan demikian, pemerintah bebas mengambil harta kekayaan rakyatnya sebanyak mungkin serta membelanjakannya sesuka hati. Hal ini berarti, sebelum islam datang, tidak ada konsep tentang keuangan publik dan perbendaharaan negara di dunia.
Hingga kini, sudah menjadi asumsi umum bahwa kekayaan yang berlimpah merupakan kunci kesuksesan dan puncak kebesaran dari sebuah pemerintahan di dunia. Oleh karena itu, adalah hal yang lumrah bila pemerintahan dibelahan dunia manapun selalu memberikan perhatian terbesar terhadap masalah pengumpulan dan administrasi penerimaan negara.
Dalam negara islam, tampak kekuasaan dipandang sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan sesuai dengan perintah Al-Quran. Hal ini telah dipraktikan oleh Rasulullah saw. Sebagai seorang kepala negara secara baik dan benar. Ia tidak menganggap dirinya sebagai seorang raja atau pemerintah dari suatu negara, tetapi sebagai orang yang diberikan amanah untuk mengatur urusan negara.
Berkaitan dengan ini, Rasulullah merupakan kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan negara pada abad ketujuh, yakni semua hasil pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan negara. Status harta hasil pengumpulan itu adalah milik negara dan bukan milik individu. Meskipun demikian, dalam batas-batas tertentu, pemimpin negara dan para pejabat lainnya dapat menggunakan harta tersebut untuk mencukupi kebutuhan pribadinya. Tempat pengumpulan itu disebut sebagai Baitul Mal (rumah harta) atau bendahara negara. Pada masa pemerintahan Rasulullah, Baitul Mal terletak di Masjid Nabawi yang ketika itu digunakan sebagai kantor pusat negara yang sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal Rasulullah. Binatang-binatang yang merupakan harta perbendaharaan negara tidak di simpan di Baitul Mal. Sesuai dengan alamnya, binatang-binatang tersebut ditempatkan di padang terbuka.[a]
Baitul Mal merupakan lembaga keuangan pertama yang ada pada zaman Rasulullah. Lembaga ini pertama kali hanya berfungsi untuk menyimpan harta kekayaan negara dari zakat, infak, sedekah, pajak dan harta rampasan perang. Dan acuan dari perbankan islam bukanlah perbankan konvesional tetapi dari Baitul tamwil [b]. baitul tamwil dan baitul mal sendiri merupakan fungsi utama dari baitul mal wa tamwil.[c]
Harta yang merupakan sumber pendapatan negara di simpan di masjid dalam waktu singkat untuk kemudian di distribusikan kepada masyarakat hingga tidak tersisa sedikit pun. Dalam berbagai kitab hadis dan sejarah, terdapat empat puluh nama sahabat yang jika digunakan istilah modern disebut sebagai pegawai sekretariat Rasulullah. Namun, tidak disebutkan adanya seorang bendaharawan negara. Kondisi yang seperti ini hanya mungkin terjadi di lingkungan yang mempunyai sistem pengawasan yang sangat ketat. Pada perkembangan berikutnya, institusi ini memainkan peran yang sangat penting dalam bidang keuangan dan administrasi negara, terutama pada masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun. [d]
Seiring dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahann Umar Ibn Khattab, pendapatan negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini memerlukan perhatiann khusus untuk mengelolanya agar dapat dimanfaatkan secara benar, efektif dan efisien. Setelah melakukan musyawarah dengan para pemuka sahabat, khalifah Umar Ibn Khattab mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan harta baitul mal sekaligus, tetapi dikeluarkannya secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ada, bahkan di antaranya disediakan dana cadangan. Cikal bakal lembaga Baitul Mal yang teah dicetuskan dan difungsikan oleh Rasulullah Saw. Dan diteruskan oleh Abu Bakar As-Shiddiq, semakin dikembangkan fungsinya pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khattab sehingga menjadi lembaga yang reguler dan permanen. Pembangunan institusi Baitul mal yang dilengkapi dengan sistem adminitrasi yang tertata baik dan rapih merupakan kontribusi terbesar yang diberikan oleh khalifah Umar Ibn Khattab kepada dunia islam dan kaum muslimin.
Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi Baitul Mal dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharaj sebesar  500.000 dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H. Oleh karena jumlah tersebut sangat besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan dana Baitul Mal tersebut. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, khalifah Umar memutuskan untuk tidak mendistribusikan harta Baitul mal, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.
Secara tidak langsung Baitul mal berfungsi sebagai pelaksana kebijakan fiskal negara Islam dan khalifah merupakan pihak yang berkuasa penuh terhadap harta Baitul Mal. Namun demikian, Khalifah diperbolehkan menggunakan harta Baitu mal untuk kepentingan pribadi. Dalam hal ini, tunjangan Umar sebagai khalifah untuk setiap tahunnya adalah tetap yakni  sebesar 5000 dirham, dua stel pakaian yang masing-masing untuk musim panas dan musim dingin serta seekor binatang tunggangan untuk menunaikan ibadah haji.
Dalam hal penditribusian harta Baitul Mal, sekalipun berada dalam kendali dan tanggung jawab, para pejabat Baitul Mal tidak mempunyai wewenang dalam membuat suatu keputusan terhadap harta baitul mal yang berupa zakat dan Ushr. Kekayaan negara tersebut ditujukann untuk berbagai golongan tertentu dalam masyarakat dan harus dibelanjakan sesuai dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an.
Harta Baitul Mal dianggap sebagai harta kaum muslimin, sedangkan Khalifah dan para amil hanya berperan sebagai pemegang amanah. Dengan demikian, negara bertanggung jawab untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar, membiayai penguburan orang-orang miskin, membayar utang orang-orang yang bangkrut; membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu.
Khalifah umar ibn khattab menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta Baitul Mal. Ia berpendapat bahwa kesulitan yang dihadapi umat islam harus diperhitungkan dalam menetapkan bagian seseorang dari harta negara dan karenanya, keadilan menghendaki usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik-baiknya. [e]

B.     Pengertian dan Ruang Lingkup Baitul Maal
Secara harfiah/lughowi, baitul maal berarti rumah dana. Baitul mal ini sudah ada sejak pada zaman rasulullah, berkembang pesat pada abad pertengahan. Baitul mal berfungsi sebagai pengumpulan dan men-tasyaruf-kan untuk kepentingan sosial.
Menurut Ensiklopedia hukum Islam, baitul mal adalah lembaga keuangan negara yang bertugas menerima, menyimpan, dan mendistribusikan uang negara sesuai dengan aturan syariat. Sedangkan menurut Harun Nasution, baitul mal bisa diartikan sebagai pembendaharan (umum atau negara). Suhrawardi K.Lubis, menyatakan baitul mal dilihat dari segi istilah fikih adalah “suatu lembaga atau badan yang bertugas mengurusi kekayaan negara terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan soal pemasukan dan pengelolaan maupun yang berhubungan dengan masalah pengeluaran dan lain-lain.” [f]
Secara terminologis (ma’na ishtilah) sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1983) dalam kitabnya al-Amwaal fi Daulah Al-khilafah, Baitul Maal adalah suatu lembaga atau pihak (Arab: A-Jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Jadi setiap harta baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, komoditas perdagangan, maupun harta benda lainnya dimana kaum muslimin berhak memilikinya sesuai hukum syara’.
Jadi Baitul Maal yaitu sebagai sebuah lembaga atau pihak (al-Jihat) yang menangani harta negara, baik pendapatan maupun pengeluaran. Atau tempat (al-makan) untuk menyimpan dan mengelola pendapatan negara atau lebih dikenal dengan PAD. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Baitul Maal adalah titipan dana zakat, infak dan shadaqah serta menjalankannya yang sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
Berdasarkan literature klasik ekonomi islam, baitul mal (treasury house) merupakan institusi sentral dari negara. Ia menjadi institusi konkrit dari negara itu sendiri. Bersama khalifah, baitul mal menjalankan fungsi-fungsi negara bukan saja pada aspek ekonomi tapi pada semua aspek kehidupan dalam negara. Ialah yang menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi melalui divisi-divisi pembangunan, menciptakan mata uang, membangun prasarana dan infrastruktur perekonomian, menerima, mengelola dan menyalurkan dana-dana pembangunan, dan lain-lain.
1.      Institusi Baitul Mal
Baitul mal merupakan institusi yang dominan dalam perekonomian islam. Institusi ini secara jelas merupakan entitas yang berbeda dengan penguasa atau pemimpin negara. Namun, keterkaitannya sangatlah kuat, karena institusi baitul mal merupakan institusi yang menjalankan fungsi-fungsi ekonomi dan sosial dari sebuah negara islam. Dalam banyak literatur sejarah peradaban dan ekonomi islam klasik, mekanisme baitul mal selalu tidak dilepaskan dari fungsi khalifah sebagai kepala negara. Artinya berbagai keputusan yang menyangkut baitul mal dan segala kebijakan institusi tersebut secara dominan dilakukan oleh khalifah.
Fungsi dan eksitensi baitul mal secara jelas telah banyak diungkapkan baik pada masa Rasulullah saw maupun pada masa kekhalifahan setelah beliau wafat. Namun, secara konkrit pelembagaan baitul mal baru dilakukan pada masa Umar Bin Khattab, ketika kebijakan pendistribusian dana yang terkumpul mengalami perubahan. Lembaga baitul mal itu berpusat di ibu kota Madinah dan memiliki cabang di provinsi-provinsi wilayah islam.
Seperti yang telah diketahui, pada masa Rasulullah saw hingga kepemimpinan Abu Bakar, pengumpulan dan pendistribusian dana zakat serta pungutan-pungutan lainnya dilakukan secara serentak. Artinya pendistribusian dana tersebut langsung dilakukan setelah pengumpulan, sehingga para petugas Baitul Mal selesai melaksanakan tugasnya tidak membawa sisa dana untuk di simpan. Sedangkan pada masa Umar Bin Khattab, pengumpulan dana ternyata begitu besar sehingga di ambil keputusan menyimpan untuk keperluan darurat. Dengan keputusan tersebut, maka Baitul Mal secara resmi dilembagakan, dengan maksud awal untuk pengelolaan dana tersebut. [g]

2.      Hirarki organisasi dan operasionalnya
Pada masa Umar bin Abdul Azis, dalam operasionalnya institusi baitul mal dibagi menjadi beberapa departemen. Pembagian departemen dilakukan berdasarkan pos-pos penerimaan yang dimiliki oleh Baitul mal sebagai bendahara negara. Sehingga departmenen yang menangani zakat berbeda dengan yang mengelola Khumz, jizyah, Kharaj dan seterusnya.
Yusuf Qardhawy (1988) membagi baitul mal menjadi empat bagian (divisi) kerja berdasarkan pos penerimaanya, merujuk pada aplikasi masa islam klasik:
1. Departemen khusus untuk sedekah (zakat)
2. Departemen khusus untuk menyimpan pajak dan upeti
3. Departemen khusus untuk ghanimah dan rikaz
4. Departemen khusus untuk harta yang tidak diketahui warisannya atau yang terputus hak warisnya (misalnya karena pembunuhan)
Ibn Taimiyah mengungkapkan bahwa dalam administrasi keuangan negara, dalam  Baitul mal telah dibentuk beberapa departemen yang dikenal dengan Diwan (dewan). Dewan-dewan tersebut diantaranya:
1. Diwan al-Rawatib yang berfungsi mengadministrasikan gaji dan honor bagi pegawai negeri tentara.
2. Diwa al Jawali wal Mawarist al Hasyriyah yang berfungsi mengelola poll takes (jizyah) dan harta tanpa waris.
3. Diwan al Kharaj yang berfungsi untuk memungut kharaj.
4. Diwan al Hilali yang berfungsi mengeloksi pajak buah-buahan.
Pada hakikatnya pengembangan institusi dan kebijakan dalam ekonomi Islam tidak memiliki ketentuan baku kecuali apa yang telah digariskan dalam syariat. Khususnya dalam pembentukan departemen dan kebijakan strategi pengoleksian dan pendapatan Negara, sebenarnya juga tergantung pada perkembangan atau kondisi perekonomian Negara pada waktu tertentu.
Merujuk pada apa yang telah dijelaskan oleh  Qardhawi tentang institusi Baitul Mal, dalam operasionalnya, salah satu kebijakan pengelolaan pendapatan Negara adalah ketika dana yang dimiliki departemen sedekah (zakat) yang fungsinya memenuhi kebutuhan dasar warga negara kurang, maka dapat menggunakan dana dari departemen lain yaitu departemen pajak atau upeti. Tahapan penggunaan keuangan negara ini sesuai dengan yang dijelaskan sebelumnya, dimana sumber keuangan negara utama adalah zakat, kemudian fay’ dan pajak. Jika masih juga kekurangan maka negara akan melakukan skema tafakul, dimana semua harta dikumpulkan negara dan dibagikan sama rata.
Pada masa Ali Bin Abi Thalib, baitul mal juga berfungsi mencetak uang beredar (dinar dan dirham), berarti Baitul Mal  bisa berfungsi sebagai otoritas moneter yang menentukan jumlah uang beredar. Atau bahkan dengan kompleksitas sektor moneter masa modern ini, pengaturan sektor moneter oleh Baitul Mal tidak hanya terbatas pada jumlah uang beredar tapi juga melakukan pengawasan dan pengaturan pada arus uang di aktivitas investasi dan jual beli yang dilakukan lembaga-lembaga keuangan syariah dalam perekonomian.  Dengan begitu  divisi khusus yang mengurangi sektor moneter  diperlukan juga dalam struktur organisasi Baitul Maal.
Struktur organisasi  Baitul Maal mengikuti kompleksitas perekonomian modern dapat mempertimbangkan peran Baitul Maal  dalam membuat kebijakan-kebijakan ekonomi disektor riil dan moneter, disamping perannya yang secara alami membuat kebijakan disektor sosial. Pengaruh kebijakan disektor riil seperti menentukan tingkat pajak dan pendistribusiannya menentukan hirarki organisasi Baitul Maal, begitu juga kebijakan meneter seperti menciptakan uang dan mengelola uang beredar.
Luasnya wilayah kerja Baitul Maal juga menjadi pertimbangan dalam membangun struktur organisasinya. Konsep desentralisasi  menjadi mekanisme kerja Baitul Maal dalam menjalankan perannya sebagai salah satu lembaga ekonomi Negara. Hubungan pusat dan daerah dalam pemungutan dan pendistribusian akumulasi dana haruslah berdasarkan ketentuan syariah dan skala prioritas pembangunan ekonomi umat. Misalkan saja, ketika ada akumulasi zakat yang terkumpul disuatu daerah maka dana tersebut terlebih dahulu digunakan untuk memenuhi kebutuhan mustahiq didaerah tersebut. Ketika dana yang terkumpul tersebut berlebih, maka akan didistribusikan pada daerah yang terdekat yang memang sangat membutuhkan dana tadi. Namun ada juga yang melakukan hal tersebut melalui konsep sentralisasi dimana pelaksanaan atau pendistribusian akumulasi dana dilakukan oleh Baitul Maal pusat. Misalnya dimana sebagian, setengah atau seluruh akumulasi dana zakat diserahkan pada Baitul Maal pusat.

3.       Pengelola (amil)
Pengelolaan dana yang terhimpun dalam lembaga baitul maal merupakan isu yang cukup sensitif, sehingga memerlukan pengelola yang memiliki integritas dan profesionalitas  tinggi baik secara moral maupun secara teknis. Ketidakjujuran pengelola atau kesalahan pengelola dana bukan hanya menurunkan popularitas lembaga baitul maal, tapi juga menjalar pada ketidakpercayaan pada kepemimpinan negara. Karena memang Baitul Maal merupakan institusi konkrit dari sebuah negara.
Bagian zakat yang diberikan pada pengelola zakat tentu dalam kerangka pemasukan negara berasal dari zakat ini. Besarnya bagian buat pengelola zakat ini menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddinnya, sebesar kebutuhannya. Difinisi kebutuhan disini tentu tidak terlepas pada kebutuhan menjalankan fungsi sebagi pengelola (amil) dan kebutuhan pengelola zakat itu sendiri. Meskipun harus juga jelas kebutuhan sebesar apa. Annas Zarqa mengklasifikasikan kebutuhan menjadi dua jenis, yaitu kebutuhan dasar untuk hidup dan kehidupan untuk hidup layak. [h]

C.    Tujuan dan Fungsi Baitul Mal
Tujuan baitul mal yaitu : terwujudnya layanan penghimpunan ZIZ dan wakaf yang mengoptimalkan nilai bagi muzaki, munfiq, tatasaddiq, dan muwafit. Kedua terwujudnya layanan pendayagunaan ZIS dan wakaf yang mengoptimalkan upaya pemberdayaan mustahiq berbasis pungutan jaringan. Dan juga terwujudnya organisasi sebagai good organization yang mengoptimalkan nilai bagi stakeholder dan menjadi benchmark bagi lembaga oengelola ZIS dan wakaf di indonesia. [i]
Selain itu Baitul mal berfungsi sebagai bendahara negara (konteks sekarang dalam perekonomian modern disebut departemen keuangan). Tapi pada hakikatnya baitul mal berfungsi untuk mengelola keuangan negara menggunakan akumulasi dana yang berasal dari pos-pos penerimaan zakat, kharaj, jizyah, Khums, fay’, dan lain-lain, dan dimanfaatkan untuk melaksanakan program-program pembangunan yang menjadi kebutuhan negara.
Eksitensi lembaga baitul mal pada awalnya merupakan konsekuensi profesionalitas manajemen yang dilakukan pengelola zakat (Amil). Namun ia juga mereflesikan ruang lingkup islam, dimana islam didefinisikan juga sebagai agama dan pemerintahan, quran dan kekuasaan, sehingga baitul mal menjadi salah satu komponen yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dan kekuasaan dari negara. Jadi ketika negara harus mengelola penerimaan-penerimaan negara, baik yang diatur oleh syariah maupun yang di dapat berdasarkan kondisi pada saat itu, negara membutuhkan negara yang menghimpun, mengelola dan mendistribusikan akumulasi dana negara tersebut untuk kepentingan negara, baik penggunaan yang memang diatur oleh syariah atau juga yang merupakan prioritas pembangunan ketika itU.


















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan makalah diatas dapat penulis simpulkan bahwa baitul maal adalah sebuah pembendaharaan negara yang mengatur segala pemasukan dan pengeluaran negara. Berdirinya baitul maal ini karena sebelum islam masuk, terjadi penyalahgunaan keuangan negara. Maksunya pemerintah yang jail bebas mengambil harta kekayaan rakyat sesuai keinginannya. Namun setelah islam datang maka rasulullah memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan yaitu dengan teknik pengumpulan dana dimana di keluarkannya dana  sesuai kebutuhan dan kepentingan yang mendesak. Walaupun pada rasulullah belum terlalu dikenal tapi Baitul maal ini berkembang pesat pada masa khalifah Umar Ibn Khattab, begitu pula adanya peningkatan pendapatan negara pada saat itu.
Baitul maal atau yang sering disebut  rumah harta ataupun lembaga yang mengatur keuangan negara baik dari segi pemasukan, penyimpanan dan juga pendistribusian ini sangat membantu negara dalam mengelola keuangan. Adanya baitul maal diperlukan pula pengelola. Pada masa rasulullah, beliau hanya mengutus 40 orang mengelolahnya sedangkan masa selanjutnya dikelolah oleh khalifah atau amil dan keduanya hanya sebagai pemegang amanah. Adapun dana yang di kumpulkan itu dari pengumpulan zakat, kharaj, jizyah, infak juga sadaqah dan negara berkewajiban untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar, membiayai penguburan orang-orang miskin, membayar utang orang-orang yang bangkrut; membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu.
Baitul mal membantu terwujudnya layanan penghimpunan ZIZ dan wakaf yang mengoptimalkan nilai bagi muzaki, munfiq, tatasaddiq, dan muwafit. Kedua terwujudnya layanan pendayagunaan ZIS dan wakaf yang mengoptimalkan upaya pemberdayaan mustahiq berbasis pungutan jaringan. Dan juga terwujudnya organisasi sebagai good organization yang mengoptimalkan nilai bagi stakeholder dan menjadi benchmark bagi lembaga oengelola ZIS dan wakaf d indonesia. Adapun fungsinya sebagai pembendaharaan yang mengatur tentang keuangan negara.




A.    Adiwarman Azhar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi 3 (cet.  4; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 51-53.

B.     Nurul Huda dan mohamad Heykal, lembaga keuangan islam, Edisi 1 (cet. 1; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h.25.
C.      Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (cet. 1; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h.451.
D.    Adiwarman Azhar Karim, loc. Cit.
E.     Ibid, h.59
F.      Abdul maman,. Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012). h.353
G.    Ali sakti, Ekonomi Islam , (Jakarta:  Paradigma & Aqsa Publishing, 2007),  h.385-387.
H.    Ibid. h. 387-391
I.       http://www.Lazbmkt.wordpress.com