SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BAITUL MAL
Disusun untuk Memenuhi Tugas pada Matakuliah
Ekonomi
Syariah
Dosen
Pengajar:
Dr. Ahmad Faiq, SH, MM
Disusun
oleh :
Kosim
Rahman
1202019

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI GANESHA
JURUSAN EKONOMI MANAJEMEN
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini suatu negara di dunia
pasti membutuhkan suatu institusi yang mampu memperlancara aktivitas perekonomianya. Dan
tentunya institusi tersebut harus mempunyai peran yang sangat signifikan untuk kelancaran aktivitas perekonomianya.
Dan institusi tersebut sudah ada
sejak zaman dulu dan Madinah merupakan kota pertama yang memperkenalkannya,
yang pada saat itu di pimpin dan dicetuskan oleh Rasulullah saw, institusi
terebut di sebut Baitul Mal.
Pada waktu itu Baitul Mal memegang peranan yang sangat vital karena bukan hanya aspek ekonomi
tapi semua aspek kehidupan negara.
Pada zaman modern ini Baitul Mal
disebut dengan Departemen Keuangan. Tidak bisa dibayangkan
seandainya Rasulullah saw tidak mencetuskan konsep tentang Baitul Mal, apakah
mungkin pada saat ini kita mempunyai Departemen Keuangan? Begitu besarnya peranan Baitul Mal,
maka dalam makalah ini kami akan mengulas hal-hal yang berkaitan dengan Baitul
Mal, baik itu dari segi sejarah, fungsi dan perananya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan disajikan penulis adalah
bagaimana pengertian dan ruang lingkup Baitul Maal, tujuan serta fungsi dari
Baitul Maal itu sendiri.
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini sebagaimana dapat mengetahui arti dan ruang lingkup dari Baitul Maal,
mengetahui apa saja tujuan didirikannya Baitul Maal serta fungsi Baitul Maal.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Berdirinya Baitul Maal
Sebelum islam hadir di tengah-tengah
umat manusia, pemerintahan suatu negara di pandang sebagai satu-satunya
penguasa kekayaan dan perbendaharaan negara. Dengan demikian, pemerintah bebas mengambil
harta kekayaan rakyatnya sebanyak mungkin serta membelanjakannya sesuka hati.
Hal ini berarti, sebelum islam datang, tidak ada konsep tentang keuangan publik
dan perbendaharaan negara di dunia.
Hingga kini, sudah menjadi asumsi umum
bahwa kekayaan yang berlimpah merupakan kunci kesuksesan dan puncak kebesaran
dari sebuah pemerintahan di dunia. Oleh karena itu, adalah hal yang lumrah bila
pemerintahan dibelahan dunia manapun selalu memberikan perhatian terbesar
terhadap masalah pengumpulan dan administrasi penerimaan negara.
Dalam negara islam, tampak kekuasaan
dipandang sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan sesuai dengan perintah
Al-Quran. Hal ini telah dipraktikan oleh Rasulullah saw. Sebagai seorang kepala
negara secara baik dan benar. Ia tidak menganggap dirinya sebagai seorang raja
atau pemerintah dari suatu negara, tetapi sebagai orang yang diberikan amanah
untuk mengatur urusan negara.
Berkaitan dengan ini, Rasulullah
merupakan kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang
keuangan negara pada abad ketujuh, yakni semua hasil pengumpulan negara harus
dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan negara. Status harta hasil
pengumpulan itu adalah milik negara dan bukan milik individu. Meskipun
demikian, dalam batas-batas tertentu, pemimpin negara dan para pejabat lainnya
dapat menggunakan harta tersebut untuk mencukupi kebutuhan pribadinya. Tempat
pengumpulan itu disebut sebagai Baitul Mal (rumah harta) atau bendahara negara.
Pada masa pemerintahan Rasulullah, Baitul Mal terletak di Masjid Nabawi yang
ketika itu digunakan sebagai kantor pusat negara yang sekaligus berfungsi
sebagai tempat tinggal Rasulullah. Binatang-binatang yang merupakan harta
perbendaharaan negara tidak di simpan di Baitul Mal. Sesuai dengan alamnya,
binatang-binatang tersebut ditempatkan di padang terbuka.[a]
Baitul Mal merupakan lembaga
keuangan pertama yang ada pada zaman Rasulullah. Lembaga ini pertama kali hanya
berfungsi untuk menyimpan harta kekayaan negara dari zakat, infak, sedekah,
pajak dan harta rampasan perang. Dan acuan dari perbankan islam bukanlah
perbankan konvesional tetapi dari Baitul tamwil [b].
baitul tamwil dan baitul mal sendiri merupakan fungsi utama dari baitul mal wa
tamwil.[c]
Harta yang merupakan sumber
pendapatan negara di simpan di masjid dalam waktu singkat untuk kemudian di
distribusikan kepada masyarakat hingga tidak tersisa sedikit pun. Dalam
berbagai kitab hadis dan sejarah, terdapat empat puluh nama sahabat yang jika
digunakan istilah modern disebut sebagai pegawai sekretariat Rasulullah. Namun,
tidak disebutkan adanya seorang bendaharawan negara. Kondisi yang seperti ini
hanya mungkin terjadi di lingkungan yang mempunyai sistem pengawasan yang
sangat ketat. Pada perkembangan berikutnya, institusi ini memainkan peran yang
sangat penting dalam bidang keuangan dan administrasi negara, terutama pada
masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun. [d]
Seiring dengan semakin meluasnya
wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahann Umar Ibn Khattab, pendapatan
negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini memerlukan
perhatiann khusus untuk mengelolanya agar dapat dimanfaatkan secara benar,
efektif dan efisien. Setelah melakukan musyawarah dengan para pemuka sahabat,
khalifah Umar Ibn Khattab mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan harta
baitul mal sekaligus, tetapi dikeluarkannya secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan yang ada, bahkan di antaranya disediakan dana cadangan. Cikal bakal
lembaga Baitul Mal yang teah dicetuskan dan difungsikan oleh Rasulullah Saw.
Dan diteruskan oleh Abu Bakar As-Shiddiq, semakin dikembangkan fungsinya pada
masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khattab sehingga menjadi lembaga yang
reguler dan permanen. Pembangunan institusi Baitul mal yang dilengkapi dengan
sistem adminitrasi yang tertata baik dan rapih merupakan kontribusi terbesar
yang diberikan oleh khalifah Umar Ibn Khattab kepada dunia islam dan kaum
muslimin.
Dalam catatan sejarah, pembangunan
institusi Baitul Mal dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika
itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak
al-kharaj sebesar 500.000 dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H. Oleh
karena jumlah tersebut sangat besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif
memanggil dan mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan
dana Baitul Mal tersebut. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, khalifah
Umar memutuskan untuk tidak mendistribusikan harta Baitul mal, tetapi disimpan
sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara
maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.
Secara tidak langsung Baitul mal
berfungsi sebagai pelaksana kebijakan fiskal negara Islam dan khalifah
merupakan pihak yang berkuasa penuh terhadap harta Baitul Mal. Namun demikian,
Khalifah diperbolehkan menggunakan harta Baitu mal untuk kepentingan pribadi.
Dalam hal ini, tunjangan Umar sebagai khalifah untuk setiap tahunnya adalah
tetap yakni sebesar 5000 dirham, dua stel pakaian yang masing-masing
untuk musim panas dan musim dingin serta seekor binatang tunggangan untuk
menunaikan ibadah haji.
Dalam hal penditribusian harta
Baitul Mal, sekalipun berada dalam kendali dan tanggung jawab, para pejabat
Baitul Mal tidak mempunyai wewenang dalam membuat suatu keputusan terhadap
harta baitul mal yang berupa zakat dan Ushr. Kekayaan negara tersebut
ditujukann untuk berbagai golongan tertentu dalam masyarakat dan harus
dibelanjakan sesuai dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an.
Harta Baitul Mal dianggap sebagai
harta kaum muslimin, sedangkan Khalifah dan para amil hanya berperan sebagai
pemegang amanah. Dengan demikian, negara bertanggung jawab untuk menyediakan
makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar, membiayai
penguburan orang-orang miskin, membayar utang orang-orang yang bangkrut;
membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu.
Khalifah umar ibn khattab menerapkan
prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta Baitul Mal. Ia berpendapat bahwa
kesulitan yang dihadapi umat islam harus diperhitungkan dalam menetapkan bagian
seseorang dari harta negara dan karenanya, keadilan menghendaki usaha seseorang
serta tenaga yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam harus
dipertahankan dan dibalas dengan sebaik-baiknya. [e]
B.
Pengertian dan Ruang Lingkup Baitul Maal
Secara harfiah/lughowi, baitul maal
berarti rumah dana. Baitul mal ini sudah ada sejak pada zaman rasulullah,
berkembang pesat pada abad pertengahan. Baitul mal berfungsi sebagai
pengumpulan dan men-tasyaruf-kan untuk kepentingan sosial.
Menurut Ensiklopedia hukum Islam,
baitul mal adalah lembaga keuangan negara yang bertugas menerima, menyimpan,
dan mendistribusikan uang negara sesuai dengan aturan syariat. Sedangkan
menurut Harun Nasution, baitul mal bisa diartikan sebagai pembendaharan (umum atau
negara). Suhrawardi K.Lubis, menyatakan baitul mal dilihat dari segi istilah
fikih adalah “suatu lembaga atau badan yang bertugas mengurusi kekayaan negara
terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan soal pemasukan dan pengelolaan
maupun yang berhubungan dengan masalah pengeluaran dan lain-lain.” [f]
Secara terminologis (ma’na ishtilah)
sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1983) dalam kitabnya al-Amwaal fi Daulah
Al-khilafah, Baitul Maal adalah suatu lembaga atau pihak (Arab: A-Jihat) yang
mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan
maupun pengeluaran negara. Jadi setiap harta baik berupa tanah, bangunan,
barang tambang, uang, komoditas perdagangan, maupun harta benda lainnya dimana
kaum muslimin berhak memilikinya sesuai hukum syara’.
Jadi Baitul Maal yaitu sebagai
sebuah lembaga atau pihak (al-Jihat) yang menangani harta negara, baik
pendapatan maupun pengeluaran. Atau tempat (al-makan) untuk menyimpan dan
mengelola pendapatan negara atau lebih dikenal dengan PAD. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa Baitul Maal adalah titipan dana zakat, infak dan
shadaqah serta menjalankannya yang sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
Berdasarkan literature klasik ekonomi islam, baitul mal
(treasury house) merupakan institusi sentral dari negara. Ia menjadi institusi
konkrit dari negara itu sendiri. Bersama khalifah, baitul mal menjalankan
fungsi-fungsi negara bukan saja pada aspek ekonomi tapi pada semua aspek
kehidupan dalam negara. Ialah yang menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi
melalui divisi-divisi pembangunan, menciptakan mata uang, membangun prasarana
dan infrastruktur perekonomian, menerima, mengelola dan menyalurkan dana-dana
pembangunan, dan lain-lain.
1. Institusi Baitul Mal
Baitul mal merupakan institusi yang
dominan dalam perekonomian islam. Institusi ini secara jelas merupakan entitas
yang berbeda dengan penguasa atau pemimpin negara. Namun, keterkaitannya
sangatlah kuat, karena institusi baitul mal merupakan institusi yang
menjalankan fungsi-fungsi ekonomi dan sosial dari sebuah negara islam. Dalam
banyak literatur sejarah peradaban dan ekonomi islam klasik, mekanisme baitul
mal selalu tidak dilepaskan dari fungsi khalifah sebagai kepala negara. Artinya
berbagai keputusan yang menyangkut baitul mal dan segala kebijakan institusi
tersebut secara dominan dilakukan oleh khalifah.
Fungsi dan eksitensi baitul mal
secara jelas telah banyak diungkapkan baik pada masa Rasulullah saw maupun pada
masa kekhalifahan setelah beliau wafat. Namun, secara konkrit pelembagaan
baitul mal baru dilakukan pada masa Umar Bin Khattab, ketika kebijakan
pendistribusian dana yang terkumpul mengalami perubahan. Lembaga baitul mal itu
berpusat di ibu kota Madinah dan memiliki cabang di provinsi-provinsi wilayah
islam.
Seperti yang telah diketahui, pada
masa Rasulullah saw hingga kepemimpinan Abu Bakar, pengumpulan dan
pendistribusian dana zakat serta pungutan-pungutan lainnya dilakukan secara
serentak. Artinya pendistribusian dana tersebut langsung dilakukan setelah
pengumpulan, sehingga para petugas Baitul Mal selesai melaksanakan tugasnya
tidak membawa sisa dana untuk di simpan. Sedangkan pada masa Umar Bin Khattab,
pengumpulan dana ternyata begitu besar sehingga di ambil keputusan menyimpan
untuk keperluan darurat. Dengan keputusan tersebut, maka Baitul Mal secara
resmi dilembagakan, dengan maksud awal untuk pengelolaan dana tersebut. [g]
2. Hirarki organisasi dan
operasionalnya
Pada masa Umar bin Abdul Azis, dalam operasionalnya
institusi baitul mal dibagi menjadi beberapa departemen. Pembagian departemen
dilakukan berdasarkan pos-pos penerimaan yang dimiliki oleh Baitul mal sebagai
bendahara negara. Sehingga departmenen yang menangani zakat berbeda dengan yang
mengelola Khumz, jizyah, Kharaj dan seterusnya.
Yusuf Qardhawy (1988) membagi baitul mal menjadi empat
bagian (divisi) kerja berdasarkan pos penerimaanya, merujuk pada aplikasi masa
islam klasik:
1. Departemen khusus untuk sedekah (zakat)
2. Departemen khusus untuk menyimpan pajak dan upeti
3. Departemen khusus untuk ghanimah dan
rikaz
4. Departemen khusus untuk harta yang
tidak diketahui warisannya atau yang terputus hak warisnya (misalnya karena
pembunuhan)
Ibn Taimiyah mengungkapkan bahwa
dalam administrasi keuangan negara, dalam Baitul mal telah dibentuk
beberapa departemen yang dikenal dengan Diwan (dewan). Dewan-dewan
tersebut diantaranya:
1. Diwan al-Rawatib yang berfungsi mengadministrasikan gaji dan
honor bagi pegawai negeri tentara.
2. Diwa al Jawali wal Mawarist al
Hasyriyah yang berfungsi mengelola poll takes (jizyah) dan harta tanpa waris.
3. Diwan al Kharaj yang berfungsi untuk
memungut kharaj.
4. Diwan al Hilali yang berfungsi
mengeloksi pajak buah-buahan.
Pada hakikatnya pengembangan
institusi dan kebijakan dalam ekonomi Islam tidak memiliki ketentuan baku
kecuali apa yang telah digariskan dalam syariat. Khususnya dalam pembentukan
departemen dan kebijakan strategi pengoleksian dan pendapatan Negara,
sebenarnya juga tergantung pada perkembangan atau kondisi perekonomian Negara
pada waktu tertentu.
Merujuk pada apa yang telah dijelaskan oleh Qardhawi
tentang institusi Baitul Mal, dalam operasionalnya, salah satu kebijakan
pengelolaan pendapatan Negara adalah ketika dana yang dimiliki departemen
sedekah (zakat) yang fungsinya memenuhi kebutuhan dasar warga negara kurang,
maka dapat menggunakan dana dari departemen lain yaitu departemen pajak atau
upeti. Tahapan penggunaan keuangan negara ini sesuai dengan yang dijelaskan
sebelumnya, dimana sumber keuangan negara utama adalah zakat, kemudian fay’ dan
pajak. Jika masih juga kekurangan maka negara akan melakukan skema tafakul, dimana
semua harta dikumpulkan negara dan dibagikan sama rata.
Pada masa Ali Bin Abi Thalib, baitul
mal juga berfungsi mencetak uang beredar (dinar dan dirham), berarti Baitul
Mal bisa berfungsi sebagai otoritas moneter yang menentukan jumlah uang
beredar. Atau bahkan dengan kompleksitas sektor moneter masa modern ini,
pengaturan sektor moneter oleh Baitul Mal tidak hanya terbatas pada jumlah uang
beredar tapi juga melakukan pengawasan dan pengaturan pada arus uang di
aktivitas investasi dan jual beli yang dilakukan lembaga-lembaga keuangan
syariah dalam perekonomian. Dengan begitu divisi khusus yang
mengurangi sektor moneter diperlukan juga dalam struktur organisasi
Baitul Maal.
Struktur organisasi Baitul
Maal mengikuti kompleksitas perekonomian modern dapat mempertimbangkan peran
Baitul Maal dalam membuat kebijakan-kebijakan ekonomi disektor riil dan
moneter, disamping perannya yang secara alami membuat kebijakan disektor
sosial. Pengaruh kebijakan disektor riil seperti menentukan tingkat pajak dan pendistribusiannya
menentukan hirarki organisasi Baitul Maal, begitu juga kebijakan meneter
seperti menciptakan uang dan mengelola uang beredar.
Luasnya wilayah kerja Baitul Maal
juga menjadi pertimbangan dalam membangun struktur organisasinya. Konsep
desentralisasi menjadi mekanisme kerja Baitul Maal dalam menjalankan
perannya sebagai salah satu lembaga ekonomi Negara. Hubungan pusat dan daerah
dalam pemungutan dan pendistribusian akumulasi dana haruslah berdasarkan
ketentuan syariah dan skala prioritas pembangunan ekonomi umat. Misalkan saja,
ketika ada akumulasi zakat yang terkumpul disuatu daerah maka dana tersebut
terlebih dahulu digunakan untuk memenuhi kebutuhan mustahiq didaerah tersebut.
Ketika dana yang terkumpul tersebut berlebih, maka akan didistribusikan pada
daerah yang terdekat yang memang sangat membutuhkan dana tadi. Namun ada juga
yang melakukan hal tersebut melalui konsep sentralisasi dimana pelaksanaan atau
pendistribusian akumulasi dana dilakukan oleh Baitul Maal pusat. Misalnya
dimana sebagian, setengah atau seluruh akumulasi dana zakat diserahkan pada
Baitul Maal pusat.
3. Pengelola (amil)
Pengelolaan dana yang terhimpun
dalam lembaga baitul maal merupakan isu yang cukup sensitif, sehingga
memerlukan pengelola yang memiliki integritas dan profesionalitas tinggi
baik secara moral maupun secara teknis. Ketidakjujuran pengelola atau kesalahan
pengelola dana bukan hanya menurunkan popularitas lembaga baitul maal, tapi
juga menjalar pada ketidakpercayaan pada kepemimpinan negara. Karena memang Baitul
Maal merupakan institusi konkrit dari sebuah negara.
Bagian zakat yang diberikan pada
pengelola zakat tentu dalam kerangka pemasukan negara berasal dari zakat ini.
Besarnya bagian buat pengelola zakat ini menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya
Ulumuddinnya, sebesar kebutuhannya. Difinisi kebutuhan disini tentu tidak
terlepas pada kebutuhan menjalankan fungsi sebagi pengelola (amil) dan
kebutuhan pengelola zakat itu sendiri. Meskipun harus juga jelas kebutuhan
sebesar apa. Annas Zarqa mengklasifikasikan kebutuhan menjadi dua jenis, yaitu
kebutuhan dasar untuk hidup dan kehidupan untuk hidup layak. [h]
C.
Tujuan dan Fungsi Baitul Mal
Tujuan baitul mal yaitu : terwujudnya layanan penghimpunan
ZIZ dan wakaf yang mengoptimalkan nilai bagi muzaki, munfiq, tatasaddiq, dan
muwafit. Kedua terwujudnya layanan pendayagunaan ZIS dan wakaf yang
mengoptimalkan upaya pemberdayaan mustahiq berbasis pungutan jaringan. Dan juga
terwujudnya organisasi sebagai good organization yang mengoptimalkan nilai bagi
stakeholder dan menjadi benchmark bagi lembaga oengelola ZIS dan wakaf di
indonesia. [i]
Selain itu Baitul mal berfungsi sebagai bendahara negara
(konteks sekarang dalam perekonomian modern disebut departemen keuangan). Tapi
pada hakikatnya baitul mal berfungsi untuk mengelola keuangan negara
menggunakan akumulasi dana yang berasal dari pos-pos penerimaan zakat, kharaj,
jizyah, Khums, fay’, dan lain-lain, dan dimanfaatkan untuk melaksanakan
program-program pembangunan yang menjadi kebutuhan negara.
Eksitensi lembaga baitul mal pada awalnya merupakan
konsekuensi profesionalitas manajemen yang dilakukan pengelola zakat (Amil).
Namun ia juga mereflesikan ruang lingkup islam, dimana islam didefinisikan juga
sebagai agama dan pemerintahan, quran dan kekuasaan, sehingga baitul mal
menjadi salah satu komponen yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dan
kekuasaan dari negara. Jadi ketika negara harus mengelola penerimaan-penerimaan
negara, baik yang diatur oleh syariah maupun yang di dapat berdasarkan kondisi
pada saat itu, negara membutuhkan negara yang menghimpun, mengelola dan
mendistribusikan akumulasi dana negara tersebut untuk kepentingan negara, baik
penggunaan yang memang diatur oleh syariah atau juga yang merupakan prioritas
pembangunan ketika itU.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan makalah diatas dapat penulis simpulkan bahwa
baitul maal adalah sebuah pembendaharaan negara yang mengatur segala pemasukan
dan pengeluaran negara. Berdirinya baitul maal ini karena sebelum islam masuk,
terjadi penyalahgunaan keuangan negara. Maksunya pemerintah yang jail bebas
mengambil harta kekayaan rakyat sesuai keinginannya. Namun setelah islam datang
maka rasulullah memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan yaitu dengan
teknik pengumpulan dana dimana di keluarkannya dana sesuai kebutuhan dan
kepentingan yang mendesak. Walaupun pada rasulullah belum terlalu dikenal tapi
Baitul maal ini berkembang pesat pada masa khalifah Umar Ibn Khattab, begitu
pula adanya peningkatan pendapatan negara pada saat itu.
Baitul maal atau yang sering
disebut rumah harta ataupun lembaga yang mengatur keuangan negara baik
dari segi pemasukan, penyimpanan dan juga pendistribusian ini sangat membantu
negara dalam mengelola keuangan. Adanya baitul maal diperlukan pula pengelola.
Pada masa rasulullah, beliau hanya mengutus 40 orang mengelolahnya sedangkan
masa selanjutnya dikelolah oleh khalifah atau amil dan keduanya hanya sebagai
pemegang amanah. Adapun dana yang di kumpulkan itu dari pengumpulan zakat,
kharaj, jizyah, infak juga sadaqah dan negara berkewajiban untuk menyediakan
makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar, membiayai
penguburan orang-orang miskin, membayar utang orang-orang yang bangkrut;
membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu.
Baitul mal membantu terwujudnya layanan penghimpunan ZIZ dan
wakaf yang mengoptimalkan nilai bagi muzaki, munfiq, tatasaddiq, dan muwafit.
Kedua terwujudnya layanan pendayagunaan ZIS dan wakaf yang mengoptimalkan upaya
pemberdayaan mustahiq berbasis pungutan jaringan. Dan juga terwujudnya
organisasi sebagai good organization yang mengoptimalkan nilai bagi stakeholder
dan menjadi benchmark bagi lembaga oengelola ZIS dan wakaf d indonesia. Adapun
fungsinya sebagai pembendaharaan yang mengatur tentang keuangan negara.
A.
Adiwarman Azhar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi
3 (cet. 4; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 51-53.
B.
Nurul Huda dan mohamad Heykal, lembaga keuangan islam, Edisi
1 (cet. 1; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h.25.
C.
Andri Soemitra, Bank
& Lembaga Keuangan Syariah, (cet. 1; Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009), h.451.
D.
Adiwarman Azhar Karim, loc. Cit.
E.
Ibid, h.59
F.
Abdul maman,. Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana,
2012). h.353
G.
Ali sakti, Ekonomi Islam , (Jakarta: Paradigma &
Aqsa Publishing, 2007), h.385-387.
H.
Ibid. h. 387-391
I.
http://www.Lazbmkt.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar